Title : My First Last
Chapter : One shot
Author : neurica116
Fandom : Alice Nine, (sedikit) the GazetE
Genre : romance, straight
Rating : 18+
A/N : Actually, I made this story for Creative Writing class assignment, but I wanna make it on my blog with Indonesian :). Well, basically, I just translated this into Indonesian -_-"
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rica menghela napas lega ketika akhirnya ia berhasil duduk di barisan paling depan. Ia hampir saja terlambat masuk kelas jika ia tidak berlari dari lantai satu ke lantai tiga kampus. Sambil mengatur alunan napasnya yang masih tidak karuan, Rica mengikat rambut hitam sebahunya yang tadi acak-acakan. Ia berusaha untuk tampil rapi, meski hari ini ia mengenakan kaus pink dengan bawahan jins hitam dan sneakers hitam.
Ia melihat jam tangannya sekali lagi. Aneh, tidak biasanya Ms. Reira datang terlambat. Jari telunjuk dan jari tengahnya mengetuk permukaan meja, lalu pandangannya mengarah ke sekeliling kelas. Tidak ada yang ia kenal, sebagian besar mahasiswa yang hadir di kelas ini adalah laki-laki. Maklumlah, Ms. Reira terkenal baik pada mahasiswa dan kejam pada mahasiswi. Sayangnya, hanya kelas ini yang tersisa untuk mata kuliah yang ia ambil.
"Pagi, semua," suara Ms. Reira membuat Rica menghadap papan tulis. Ms. Reira berjalan santai menuju mejanya, lalu ia membuka laptopnya dengan pelan. "Kita mulai dengan absen, ya."
Rica tetap diam di posisinya sambil menunggu namanya dipanggil.
"Rica Kazamasa!" seketika Rica mengangkat tangannya dengan agak gugup.
"Tora Amano!" Ms. Reira memanggil nama seseorang. "Tora Amano!" ia mengulanginya lagi.
Terdengar keributan kecil di kelas, para mahasiswa saling mencari sosok Tora Amano yang dari tadi dipanggil oleh Ms. Reira. Rica juga melihat ke barisan belakang, matanya mencari-cari sosok Tora Amano. Mendadak perhatiannya tertarik pada seorang laki-laki yang tertidur di atas meja. Tangan kanannya menjadi bantal empuk bagi kepalanya yang tergeletak begitu saja. Matanya terpejam, bahunya bergerak naik-turun dengan teratur.
"Tora Amano!" Ms. Reira berteriak sekali lagi dan ajaibnya laki-laki itu membuka matanya. Lalu, dengan gaya malas, ia mengangkat salah satu tangannya dengan mata yang setengah terpejam.
Ms. Reira menatap sosok itu dengan tatapan sinis. "Oh, jadi kau merasa bisa tidur di kelasku, Tora Amano?"
"Panggil aku Tora," jawab sosok itu dengan suaranya yang berat dan serak.
"Oke," kata Ms. Reira. "Ini terakhir kalinya kau bisa tidur di kelasku, Tora. Kalau kau mengulanginya lagi, aku tidak akan membiarkanmu lulus dengan mudah."
Tora Amano. Rica begitu penasaran dengan sosok itu. Dia belum pernah melihat mahasiswa yang berani tidur saat mata kuliah Ms. Reira. Meski terkenal baik pada mahasiswa, tetap saja Ms. Reira adalah dosen yang tegas dalam memberi sanksi. Ketika kuliah berlangsung dan Ms. Reira sedang menjelaskan hal yang membuat Rica bosan, ia tidak sengaja melihat ke arah tempat duduk sosok bernama Tora tadi. Rica terkejut ketika melihat laki-laki itu malah membaca novel yang ia sembunyikan di bawah meja.
"Tora, apa arti dari Empedocle?" Ms. Reira bertanya pada Tora di tengah penjelasannya. Kemudian terdengar suara kertas terbuka, mahasiswa lain sedang mencari arti kata tersebut di buku.
"Teori bahwa dunia terdiri dari tanah, air, udara, dan api," Tora menjawabnya setelah menutup bukunya. Wajahnya yang tetap tenang - bahkan nyaris tidak bergeming - menatap Ms. Reira dengan santainya.
"Good," puji Ms. Reira sambil menuliskan sesuatu di atas kertas yang sejak tadi dibawanya. "Tapi lain kali kau harus memperhatikan penjelasanku, ya."
Rica terkejut. Teori yang tadi ditanyakan Ms. Reira sesungguhnya tidak ada di buku yang digunakan di kelas ini, tapi Tora bisa menjawabnya dengan lancar dan benar, meski pada akhirnya laki-laki itu kembali asyik dengan novelnya dan tidak memperhatikan penjelasan Ms. Reira. Dan, anehnya lagi, tidak ada mahasiswa yang duduk di samping Tora. Ia seolah duduk sendirian di barisan paling belakang di kelas itu. Sejak saat itu Rica mulai penasaran dengan Tora. Ia merasa Tora berbeda dengan laki-laki yang pernah ditemuinya. Ia belum pernah merasa bahwa seseorang begitu misterius, sampai ia bertemu Tora.
***
Rica menatap amplop cokelat yang ada di hadapannya dengan perasaan gundah. Ia sudah melakukan berbagai cara supaya ia menemukan waktu dan tempat yang tepat untuk membuka amplop tersebut dan mencerna isinya dengan lapang dada. Ia sudah pindah ke lantai empat, duduk di sofa dekat pintu darurat yang terhalang oleh tanaman berpot. Ia benar-benar sendirian di tempat ini. Hanya ada dia, amplop cokelat itu, dan segelas teh.
Perlahan namun pasti Rica membuka amplop tersebut, menarik kertas, lalu membuka kedua matanya. Bibirnya tersenyum. Ia dinyatakan lulus tes beasiswa ke Prancis! Dengan perasaan lega Rica kembali memasukkan kertas itu ke dalam amplop, ia menjaga supaya kertas itu tidak rusak karena ia masih harus memperlihatkan kertas ini ke orang tuanya. Ketika hendak menikmati segelas teh yang sudah disiapkannya, Rica tertegun karena sosok laki-laki yang berjalan ke pintu darurat.
Rica pernah melihat sosok itu, tapi ia lupa di mana dan kapan. Sosok itu mengenakan baju kelabu dengan jins hitam yang banyak kantongnya, rambutnya hitam dan ditata agak berantakan seperti model Harajuku, kulitnya putih susu, dan tingginya hampir menyamai tinggi pintu darurat.
Tora Amano. Otak Rica menyampaikan dua kata itu ketika matanya melihat wajah sosok tersebut. Wajah yang dihiasi tatapan tajam dan ekspresi galak. Tiba-tiba Rica berlari menyusul Tora yang sudah menghilang di pintu darurat.
Ke mana perginya orang itu?, gumam Rica dalam hati. Seharusnya pintu darurat ini menuju ke rooftop, sebuah tempat yang tidak pernah dikunjungi Rica. Benar saja, ketika ia sampai di rooftop, hanya ada gulungan kabel yang berantakan, antena, dan angin yang berhembus kencang. Tidak ada Tora di sana, ataukah tadi hanya imajinasinya saja?
***
"Hai Tora!" bibir Rica tersenyum. Setelah meletakkan tasnya ke tempat duduknya di barisan depan, Rica beranjak ke barisan belakang tempat Tora duduk.
"Lo siapa?" Tora menutup bukunya, buku yang sama yang dibacanya minggu lalu saat kelas Ms. Reira. Tatapan matanya menyeramkan dan mengintimidasi, ia menatap Rica seolah-olah perempuan itu mau mencuri bukunya.
"Rica," suara Rica begitu tenang, meski ia tahu Tora terlihat tidak tertarik. Ia berusaha menemukan sebuah topik. "Hmm... gue liat lo kemarin di pintu darurat lantai empat, apa yang lo lakuin di sana?"
"Bukan urusan lo," jawab Tora, ketus. Kemudian Tora kembali ke bukunya, mengacuhkan Rica yang masih berdiri di samping mejanya.
"Oke..." Rica berbisik pada dirinya sendiri. Apapun yang Tora lakukan padanya tidak membuat keinginan Rica untuk mengenal Tora lebih jauh surut.
***
Sulit sekali menemukan Tora Amano di luar kelas. Rica tidak meneukan laki-laki itu di kafeteria, perpustakaan, atau tempat nongkrong khusus mahasiswa lainnya. Saat kelas Ms. Reira dimulai, Rica menunggu sosok Tora memasuki ruang kelas. Dan sambil ia menunggu, Rica menggambar wajah Tora di buku sketsanya.
"Hai Tora!" sapa Rica. Ia berdiri di samping meja Tora di barisan paling belakang sambil menggendong tas ranselnya. "Boleh duduk di sini?" tanyanya, seraya menunjuk ke sebuah kursi kosong di samping Tora.
Tora mengangguk, tapi ia tidak menoleh ke Rica.
"Buku apaan tuh?" Rica menunjuk ke arah buku yang ada di hadapan Tora. Ia ingin mengobrol dengan Tora, tapi tidak tahu topik seperti apa dan bagaimana menyampaikannya.
Tora tidak berkata apapun. Mungkin dia tidak menghiraukan Rica atau mungkin dia merasa terganggu dengan kehadiran Rica?
Tapi Rica tidak menyerah. Ketika kelas Ms. Reira dimulai di minggu berikutnya, Rica kembali duduk di samping Tora tanpa meminta izinnya. Dia sudah menyiapkan topik yang mungkin bisa menarik perhatian Tora dan ia tidak sabar untuk membicarakannya.
"Hai Tora!" sapa Rica, bibirnya tersenyum.
"Apa yang lo mau dari gue?" Mendadak Tora menatap Rica dengan kesal. Suaranya yang berat dan serak membuat ia kelihatan makin mengerikan.
"Kenapa? Lo ngerasa keganggu sama gue?" Rica berusaha untuk tetap tenang.
"Lo harus tahu," Tora berucap dengan nada serius dan mengucapkan tiap penggalan kata dengan jelas dan pelan. "Gue dateng ke kelas ini untuk belajar dan gue ngga pernah berencana untuk bicara sama orang yang ngga bakal ada hubungannya sama masa depan gue dan ngga ada artinya di hidup gue. Ngerti?"
Rica terdiam. Dia tidak menyangka Tora akan mengucapkan kalimat seperti itu. Tora melihat ke arahnya tanpa rasa bersalah.
"Pantes aja lo sendirian," Rica bicara meski dengan suara bergetar. Ia berdiri, lalu mengambil tasnya. "Lo versi barunya Frankenstein."
"Hah?!" teriak Tora, lalu ia berdiri di depan Rica. Tidak ada orang yang berani menyamakannya dengan Frankenstein. Biasanya orang lain akan pergi setelah ia mengucapkan kalimat tajamnya, tapi kali ini Rica berbeda. Perempuan itu malah menatap matanya seakan ia tidak takut dengan Tora.
Semua mahasiswa yang di kelas itu terdiam; mereka melihat Rica dan Tora yang sedang bertengkar.
Rica menarik napas panjang. Ia berusaha mengendalikan emosinya.
"Apa yang lo bilang tadi?"
"Lupain aja," jawab Rica, lalu ia duduk di barisan paling depan. Rica benci kekalahan dalam pertengkaran, tapi kali ini ia mengakhirinya dengan akhir yang tidak jelas. Ia memutuskan tidak akan pernah bicara pada Tora lagi, meski ia masih kesal dengan laki-laki itu. Satu hal lagi, Rica juga benci jika ia menjadi pusat perhatian.
Tora menatap punggung Rica. Ia belum pernah bertemu dengan perempuan yang begitu percaya diri, keras kepala, dan bisa mengakhiri pertengkaran dengan kedewasaannya padahal Tora yakin perempuan itu pasti membenci kekalahan. Ia cukup terkejut dengan tindakan Rica tadi. Perempuan itu terlihat lebih dewasa dibanding penampilannya.
***
"Gue minta maaf."
Rica tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Pagi ini Tora duduk di sebelahnya, lalu laki-laki itu meminta maaf. Rica benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Seharusnya gue nggak bertengkar sama perempuan, apalagi ngomong kasar ke perempuan," Tora menambahkan. Dia berbohong. Setelah bertengkar dengan Rica minggu kemarin, ia merasa harus meminta maaf pada Rica. Ia merasa akan menyesal seumur hidup jika tidak melakukannya. Dan Tora belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
"Kalo seandainya gue cowok, lo mau minta maaf ke gue, nggak?" tanya Rica. Sulit sekali mempercayai Tora setelah tindakannya minggu kemarin.
"Gue... akan berusaha untuk minta maaf," Tora terlihat tidak yakin.
"Oke," Rica mengangguk.
"Hmm..." Tora bergumam, lalu ia menatap Rica. "Lo mau makan siang di mana?"
***
Sejak saat itu Tora mulai dekat dengan Rica. Rica seolah membukakan sebuah dunia baru baginya di mana ia bisa merasakan hidup bersama orang lain. Rica mengenalkan Tora pada teman-temannya dan memastikan bahwa laki-laki itu diterima di lingkungan barunya. Perlahan namun pasti Tora memiliki banyak teman, dia mulai bicara pada orang lain, dan tidak pernah menghabiskan waktunya sendirian.
Di waktu luangnya, Rica menggambar sketsa wajah Tora di buku sketsanya. Menurut Rica, Tora memiliki wajah yang hampir sempurna dengan hidung mancungnya, tatapan mata yang sering mengintimidasi, dan bentuk rahangnya juga bagus. Ketika ia menggambar sketsa wajah Tora, Rica merasa bahagia. Dia tidak menyadari bahwa buku sketsanya hampir dipenuhi oleh wajah Tora.
"Gue masih penasaran deh," ucap Rica saat ia dan Tora sedang makan siang bersama di kafeteria. "Lo ngapain waktu itu di rooftop?"
"Menurut gue, itu tempat yang sempurna saat gue ngerasa udah nggak nyaman sama keramaian," jawab Tora setelah meminum air putih botolan.
Rica mengangguk, lalu ia mencari pertanyaan lain yang masih tersisa di pikirannya.
"Tapi, gue rasa gue nggak sendirian lagi," Tora bicara tiba-tiba, bibirnya memperlihatkan senyuman tipis ketika ia menatap Rica. "Soalnya gue udah punya lo."
"Wow, trims," kata Rica. Ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya, apalagi jantungnya berdetak dengan cepat setelah melihat wajah Tora dan senyuman di bibirnya.
"You changed me," kata Tora lagi. "But I think it's more than that. You changed my life."
"Okee..." Rica berusaha untuk fokus pada makan siangnya. Pipinya terasa memanas dan ia takut warna merah merona akan menjalar ke kedua pipinya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
***
Rica menatap goresan wajah yang terbuat dari pensilnya. Sketsa wajah Tora yang kesekian kalinya akhirnya selesai. Rica masih merasa tidak yakin dengan perasaannya terhadap Tora, tapi ia mengakui kalau Tora adalah pribadi yang menyenangkan, ia merasa begitu bahagia ketika bersama laki-laki itu. Rica ingin terus berada di sisi Tora dan yang terpenting adalah melihat senyumnya. Tapi, seandainya jawaban satu-satunya adalah iya, Rica tidak mau merusak persahabatannya dengan Tora.
"Yo Rica," tiba-tiba Tora ada di hadapannya. "Lo mau makan siang bareng, nggak?"
"Mau sih, tapi gue harus ngumpulin tugas dulu ke Ms. Melanie di lantai tiga, abis itu baru ke kafeteria," jawab Rica.
"Oke. Ketemuan di sana, ya."
***
Gerakan langkah kakinya begitu cepat ketika menuju ke lift, tangannya menggenggam buku sketsa miliknya. Rica baru saja mengumpulkan tugas lukisannya yang bertemakan zaman Renaisans ke Ms. Melanie di lantai tiga, ia lalu buru-buru ke kafeteria sebelum waktu istirahat makan siang habis. Namun, di tengah jalan, kaki Rica terpeleset dan ia hampir saja terjatuh ke lantai, untungnya tangannya masih bisa menggapai pagar pembatas yang terbuat dari kaca. Sayangnya, buku sketsa milik Rica terjatuh dan sobekan kertas berhamburan ke lantai satu, tepat di atas Tora yang saat itu kebetulan melintas. Tatapan mata Tora terlihat bingung karena melihat begitu banyak kertas berhamburan ke sekelilingnya.
Kemudian Tora melihat ke salah satu kertas yang jatuh di dekatnya. Ia terkejut karena ia melihat wajahnya di dalam kertas itu. Lalu, ia mengambil kertas lain yang juga jatuh tidak jauh darinya, namun isinya tetaplah sketsa wajahnya. Ia baru menyadari bahwa semua kertas yang jatuh berisi skesta wajahnya.
"Tora, maaf!" seru Rica seraya berlari dari tangga ke arah Tora, lalu ia berdiri di hadapan Tora. Berdasarkan ekspresi wajahnya, Rica tahu Tora tidak senang dengan hal ini.
"Lo bisa jelasin semuanya?" tanya Tora dengan nada kasar.
"Itu... gambar gue..." Rica merasa bersalah. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan karena ia yakin Tora sudah kecewa dengannya. Rica sudah merusak pertemanan mereka bahkan tanpa ia memberitahu perasaan sesungguhnya pada Tora.
"Lo pembohong dan seorang stalker," mendadak ia melempar kertas yang tadi ia genggam ke lantai. "Gue bener-bener jijik sama lo."
Setelah ditinggal Tora, Rica mengumpulkan kertasnya satu-persatu dan berusaha untuk tidak menangis meski seseorang telah menghina gambarnya. Orang lain yang ada di sana hanya bisa menatapnya dan beberapa dari mereka ada yang membantu Rica mengumpulkan kertasnya. Rica sadar akan perasaan Tora, betapa kecewanya dia karena seseorang menggambar wajahnya tanpa ia ketahui. Sayangnya, Tora tidak memberikan kesempatan untuknya menjelaskan semuanya.
***
Rica melihat orang lalu-lalang di hadapannya, mungkin beberapa dari mereka ada yang satu pesawat dengannya nanti. Kemudian ia kembali memusatkan perhatiannya pada sketsa yang belum jadi sambil menunggu suara yang menerangkan bahwa pesawatnya telah siap. Hari ini Rica memutuskan untuk mengejar impiannya melanjutkan pendidikan di Prancis berkat beasiswa yang diterimanya. Ia pergi sendiri ke Prancis, Rica tidak mau merepotkan keluarganya. Beasiswa yang ia dapat sudah termasuk biaya kuliah, asrama, uang per bulan, dan tambahan lain.
Ia memutuskan untuk tidak memberitahu Tora, dia tidak pantas menerimanya. Kadang Rica merasa bahagia jika bersama Tora, namun tak jarang ia berpikir bahwa Tora bukan orang yang tepat baginya. Ada banyak masalah dan perbedaan yang ada di antara mereka, dan Rica juga tidak mau menjadi pihak yang terus mengalah di setiap pertengkaran. Tapi, melupakan seorang Tora Amano adalah tantangan tersulit di hidupnya.
Prancis adalah pelariannya. Ia memutuskan untuk kerja di sana selepas kuliah, membangun kehidupan baru di Prancis yang merupakan impiannya sejak kecil.
Ketika ia memasuki pesawat dan melihat pemandangan kota Jakarta untuk terakhir kalinya, Rica menyadari bahwa ini adalah hal tergila yang pernah dilakukannya.
***
Tora mengetik "Rica Kazamasa" di facebook dan tampilan search engine lainnya. Dia tidak menemukan apapun yang berhubungan dengan perempuan itu. Kemarin ia baru saja mendapat e-mail dari Rica, Tora mengira itu adalah e-mail barunya karena ia tidak pernah memberitahu Tora tentang e-mail itu sebelumnya. Di dalam e-mailnya, Rica mengatakan bahwa ia ada di Prancis dan berencana untuk pulang ke Jakarta. Tora sudah mengirim e-mail balasan lebih dari sepuluh kali ke alamat tersebut, tapi dia tidak pernah mendapat jawaban dari Rica. Tora merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya, dan itu menyakitkan. Dia tidak bisa mendeksripsikan perasaan itu dengan jelas karena ia belum pernah mengalaminya. Dia juga merasa frustrasi. Seandainya ia tahu Rica akan pergi ke Prancis, ia mungkin akan meminta maaf sekali lagi atas ucapannya. Tora ingin menghubunginya, tapi tidak ada seorangpun yang memberikan penjelasan jelas tentang keberadaan Rica. Sepertinya mereka telah membuat janji untuk tidak memberitahu Tora tentang suatu hal.
Delapan tahun berlalu dan akhirnya Tora lulus tanpa Rica di sampingnya. Dan hari ini ia berjalan memasuki lobby kampus melalui pintu utama. Hari ini adalah reuni pertama angkatannya, sama seperti angkatan Rica. Tora mengenakan kemeja hitam dengan jins hitam dan sneakers, penampilannya tidak pernah berubah. Dia pernah mendengar dari salah satu teman Rica bahwa perempuan itu akan pulang ke Jakarta khusus untuk menghadiri reuni ini. Delapan tahun telah berlalu dan selama itu pula Tora menyadari bahwa ia menyukai Rica. Rica adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuatnya tersenyum, berani beradu argumen dengannya, sekaligus merubah hidupnya.
Dan kemudian, Tora melihatnya. Rica terlihat menawan dengan sweater abu-abu, jins hitam, dan sepasang flat shoes putih. Ia memendekkan rambutnya dan Tora menyadari bahwa Rica mengenakan make up, sesuatu yang tidak pernah Rica lakukan selama kuliah. Tora berjalan melalui kerumunan teman-temannya yang asyik mengobrol satu sama lain hingga ia berhenti tepat di depan Rica. Meski lobby kampus dipenuhi banyak orang dari berbagai jurusan, tapi Tora bisa menemukan Rica dengan mudah.
"Hai, udah lama nggak ketemu," kata Tora ketika akhirnya mereka bertemu. Ia tersenyum.
"Yeah," jawab Rica, meski awalnya ia nampak tertegun dengan kehadiran Tora, namun ia mencoba untuk tetap tenang.
"Gimana di Prancis?"
"Lancar," jawab Rica lagi. "Lo gimana? Lo udah bisa maafin gue dan semua gambar-gambar gue?"
"Tentu aja," hampir saja Tora berteriak. Ia menyentuh bahu Rica dengan lembut, lalu menatap kedua mata hitam milik perempuan itu. Ia mengacuhkan detak jantungnya yang makin cepat. "Gue suka sama lo, Ca. Gue baru sadar kalo lo satu-satunya di hati gue, gue udah nunggu lo sampai sekarang."
Rica tersenyum lembut. "Tora, lo harus tahu sesuatu."
"Mom!" Tora mendengar suara anak kecil; kemudian ia melihat anak perempuan usia kira-kira tiga tahun dengan gaun kecil warna pink berlari ke arah Rica.
"Vania, this is Uncle Tora, say hello to him," ucap Rica pada anak perempuan tadi yang akhirnya berada di pelukannya.
"Hi Uncle Tora," sapa Vania dengan suaranya yang kecil. Wajahnya mirip dengan Rica, ia memiliki bulu mata yang lentik.
"Dia..."
"Anak gue," Rica melanjutkan kalimat Tora. "Dan ini suami gue, Aoi." Kemudian ada seorang laki-laki yang berdiri di samping Rica. Tingginya hampir menyamai Tora dengan rambut hitam, kulit putih, dan warna bola matanya sama dengan warna bola mata Vania. Aoi mengenakan pakaian serba hitam dan Tora menyadari ia memiliki tato nama Rica dan Vania di lengannya.
"Rica cerita banyak tentang anda," kata Aoi. Suaranya begitu dalam, tapi tidak serak seperti milik Tora.
"Rica..."
"Dan ini keluarga gue, Tora," kata Rica. Ia melihat ekspresi kekecewaan di wajah Tora. Tapi berdasarkan apa yang dilihat Tora, Rica berusaha untuk mengucapkan kata maaf melalui senyum penuh kebahagiaan di bibirnya.
Dan untuk pertama kalinya setelah ia bertemu Rica, Tora merasa ia kembali sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar